Kita tidak pernah tau tentang rasa kehilangan seseorang sampai kita merasakan hal yang sama. Rasa kehilangan akan mengubah hidup seseorang, entah itu menjadi baik atau buruk.
Katanya, cobalah mengerti di setiap posisi orang lain, tapi jangan sampai kehilangan arah. Sayangnya itu tidak berlaku ke diri gue. Gue kehilangan arah dan gue pun kehilangan orang yang gue sayang secara kehadiran.
Setelah nyokap gue meninggal, bokap gue dengan kesendiriannya, kehadiran gue tidak akan pernah menggantikan posisi seorang istri di hidupnya, bahkan hal sederhana seperti menjalani kehidupan normal pun berubah. Tidak ada masakan hangat di meja makan, tidak ada buah yang tersedia di kulkas, tidak ada tawa hangat, bahkan keadaan rumah pun menjadi berbeda. Sunyi dan kelam.
Hoarding disorder, itu yang dialami bokap gue yang salah satu penyebabnya adalah kehilangan seseorang seumur hidupnya dan akhirnya mengambil barang dari mana saja dan tidak dibuang karena takut hilang. Bahkan seperti rumah tidak berpenghuni.
Sekitar lima tahun gue berjuang, mencoba menerima keadaan sambil berusaha. Sedikit demi sedikit gue buang barang tersebut, bahkan sampai menguras emosi dan sampai pada titik gue menjadi orang yang tidak bahagia dengan keadaan, menjadi orang yang murung memikirkan apa yang dikatakan orang, tidak bisa membedakan mana yang harus dibuang atau tidak, bukan tentang barang tapi di kehidupan bersosialisasi. Hancur, itu adalah gue yang kemarin dan bahkan sampai saat ini. Mencoba terbuka dengan orang lain, mencari pertolongan dan tidak membuahkan hasil.
Mungkin banyak pertanyaan, kenapa tidak ke psikolog atau psikiater. Gue rasa semua tau jawabannya. Sulit, dengan segala situasi dan kondisi.
saat itu gue pun menghindari membawa teman bermain ke rumah, hanya menampilkan sisi rumah yang menurut gue masih baik-baik saja. Gue amat sangat takut dengan keadaan, bahkan gue merasa tidak baik untuk berteman dengan siapapun dengan kondisi seperti ini. Kenapa? Banyak yang berpikir "buah tidak jatuh jauh dari pohonnya" dan akhirnya gue menjalin hubungan dan gue terbuka semuanya. Awalnya laki-laki ini menerima dan bahkan berbicara kalau bokap gue unik, dan berakhir "bokap lo gila".
Apa yang gue rasakan? Hahaha. Tidak lebih dan tidak kurang, hancur setiap harinya. Orang yang paling gue sayang dari gue kecil dipandang seperti itu oleh orang yang menjalin hubungan dengan gue. Bahkan gue tidak mampu lagi melihat kondisi rumah dan bokap gue. Menangis adalah kegiatan gue setiap malam, tidak hanya itu mungkin yang terekstrim adalah setiap kegiatan bahagia gue, selalu teringat keadaan rumah dan bokap gue. Setiap hari menuliskan kata maaf melalui kertas, semoga maaf itu tersampaikan. Sesak di dada tak terelakan. Selama lima bulan gue dengan kondisi itu membawa gue ke keadaan yang tidak bisa sembuh dari rasa sesak. Orang yang paling gue sayang dari gue kecil dipandang seperti itu oleh orang yang menjalin hubungan dengan gue.
Satu-satunya cara pun hanya meninggalkan rumah, walau dengan segala pikiran yang ada, bokap gue... orang tua gue satu-satunya yang juga berjuang untuk gue selama gue hidup di dunia ini. Tapi dari semua sisi, jika gue tidak berjuang dengan semuanya, bukan kehidupan yang akan gue dapatkan bukan? Seiring gue meninggalkan rumah rasa sesak berkurang, setidaknya gue bisa lebih stabil lagi mengelola emosi sedih. Bukan membuang, tapi gue pun butuh hidup dengan normal. Menyatukan kembali diri gue yang sempat hilang.
Kemudian tiba di mana orang yang sempat berpengaruh dalam kehidupan gue pun datang menunjukkan eksitensinya lagi selama tiga minggu dan akhirnya gue tumbang kembali ke lima bulan sebelum rasa sesak ini berkurang.
Gue tidak ingin dikasihani, gue mencoba menjalani semua keadaan. Gue tau banyak orang di sekeliling gue, tapi itu hanya distraksi ringan untuk kehidupan gue. Gue dengan sadar bahwa ketika mereka tidak ada di sekeliling gue, ya gue hanya sendiri lagi dan apakah gue mampu melewati semuanya itu?
Ada rasa marah, tertampar realita bahwa memang keadaan gue dan bokap gue tidak baik-baik saja. Tapi ada rasa terima kasih karena gue jadi mengetahui pikiran buruk orang lain, seburuk itu terhadap diri gue dan bokap gue walau orang tersebut tidak memberikan apapun ke hidup gue dan bokap gue.
Dan ketika kalian membaca ini, what's on your mind? Do you still thinkin I am human too or same like my father not as normal person?
Comments
Post a Comment